penembakan Misterius (PETRUS) "Kisah Gelap ORBA"
SUATU malam di bulan Juli 1983, mobil
Toyota Hardtop yang dikemudikan Bathi Mulyono baru saja melintasi jalan
Kawi, Semarang ketika dua motor menyalip kencang dan “dor..dor..” suara
pistol menyalak. Dua peluru menembus mobil. Nasib naas masih jauh dari
hidupnya. Bathi menginjak pedal gas dan melesat menembus kegelapan
malam. Sang penembak pun kabur entah ke mana.
Sejak malam itu Bathi menghilang. Dia tak pulang ke rumah kendati
istrinya, Siti Noerhayati, tengah hamil tua. Bathi memutuskan untuk
menyembunyikan dirinya dari kejaran operasi pembasmian preman yang kerap
disebut “Petrus” atau Penembakan Misterius. Sejak pertengahan 1983
Bathi hidup nomaden dan bersembunyi di Gunung Lawu. Dia baru berani
turun gunung pada 1985, setelah Petrus mereda. Nasib Bathi masih mujur.
Ribuan orang yang dituduh preman mati tanpa proses peradilan.
Bathi Mulyono bukan sembarang preman. Dia ketua Yayasan Fajar
Menyingsing, organisasi massa yang menghimpun ribuan residivis dan
pemuda di daerah Jawa Tengah. Organisasinya itu dibekingi oleh Gubernur
Jawa Tengah Supardjo Rustam, Ketua DPRD Jawa Tengah Widarto dan
pengusaha Soetikno Widjojo. Dengan “restu” elite penguasa daerah, Bathi
menjalankan bisnisnya mulai dari jasa broker sampai dengan lahan parkir
di wilayah Jawa Tengah.
Hubungan yang dibangun antara elite dengan para preman pun bergerak
lebih jauh dari sekadar bisnis. Preman pun digunakan sebagai
kelompok-kelompok milisi yang diberdayakan pada saat musim kampanye
Pemilu tiba. Golongan Karya (Golkar) sebagai generator politik Orde Baru
banyak menggunakan jasa para preman untuk menggalang massa dan
mengamankan jalannya kampanye.
Bathi dan kawan-kawannya salah satu kelompok yang digunakan oleh Golkar
dalam kampanye Pemilu 1982. Tugasnya memprovokasi massa Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang sedang berkampanye di Lapangan Banteng, Jakarta
Pusat. Insiden itu dikenal sebagai peristiwa Lapangan Banteng. Sejumlah
korban berjatuhan. Beberapa orang ditangkap atas tuduhan mengacau.
“Saya memakai jaket kuning, dalamnya kaos hijau,” kenang Bathi Mulyono.
Tapi Bathi dan kawan-kawan tak tersentuh. Ali Moertopo dituduh berada di
belakang peristiwa itu dan tak beberapa lama kemudian Soeharto
“membuangnya”.
Ian Wilson dalam tulisannya “The Rise and Fall of Political Gangster”
pada buku Problems of Democratisation in Indonesia: Elections,
Institutions and Society (2010: 201) mengatakan kalau keterlibatan
preman di dunia politik berakar jauh dalam sejarah. Jenderal Nasution
pun pernah menggunakan jasa mereka untuk menekan Presiden Sukarno
membubarkan parlemen. Sementara itu Robert Cribb menyuguhkan fakta
tentang keterlibatan bandit dalam politik dimulai sejak zaman revolusi
kemerdekaan.
Pada zaman Petrus, ternyata afinitas politik belum tentu bisa menjamin
keselamatan seorang preman. Tokoh sekaliber Bathi pun tetap jadi incaran
eksekutor. Sejumlah pentolan organisasi preman pun dicokok dan dihabisi
nyawanya tanpa pernah ada yang tahu keberadaan mayatnya. Tokoh-tokoh
Prem’s yang juga jaringan Fajar Menyingsing telah lebih dulu dihabisi,
antara lain Eddy Menpor dan Agus TGW. Mayat mereka tak pernah ditemukan
dan keluarga yang ditinggalkan pun tak tahu harus mencari dan mengadu
kepada siapa. Pada 10 Juli 1983 halaman Minggu koran Merdeka secara
khusus memberitakan tentang derita yang dialami oleh istri kedua
pentolan preman Jakarta itu.
Cerita kelam ini bermula ketika Letkol. M. Hasbi, Komandan Kodim di
Yogyakarta melancarkan Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK). Operasi
yang diklaim hanya bertujuan mendata para pelaku kriminal. Namun apa
yang dilakukan oleh M. Hasbi di Yogyakarta lebih dari sekadar mencatat.
Eksekutor operasi tak segan menembak mati siapa saja yang mereka anggap
sebagai gali (gabungan anak liar).
Berita di koran-koran yang terbit pada masa itu pun hampir seluruhnya
menampilkan penemuan mayat-mayat bertato dengan dada atau kepala
berlubang ditembus peluru. Dalam sehari, di berbagai kota, hampir dapat
dipastikan ada mayat-mayat dalam keadaan tangan terikat atau dimasukan
ke dalam karung yang digeletakkan begitu saja di emperan toko, bantaran
kali, dan di semak-semak .
Berdasarkan pemberitaan media massa yang terbit pada saat itu, sejak
awal Januari 1983 Kodam Jaya telah memulai operasi pemberantasan
kejahatan dengan nama “Operasi Celurit”. Dalam operasi itu, Kodam Jaya
berada langsung di bawah komando Pangkopkamtib Sudomo. Menurut
keterangan Soedomo pada Sinar Harapan, 27 Juli 1983 operasi itu tidak
hanya ditujukan untuk menindak pelaku kejahatan, melainkan juga untuk
menginventarisasi nama-nama pelakunya.
Berita-berita yang terbit di media massa dihiasi silang pendapat. Kepala
Bakin Yoga Soegama menyatakan tak perlu mempersoalkan para penjahat
yang mati secara misterius (Sinar Harapan, 23 Juli 1983), sementara itu
mantan Wapres H. Adam Malik angkat bicara dan menyatakan
ketidaksetujuannya terhadap aksi penembakan misterius (Terbit, 25 Juli
1983). “Jangan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak,
bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi
syarat sebagai negara hukum sudah terpenuhi,” Adam Malik mengingatkan,
“setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini
pada kehancuran,” kecam pemuda angkatan 1945 itu.
Persoalan Petrus yang semula dilakukan secara rahasia lambat laun
tersebar di masyarakat dan bahkan mendapatkan perhatian dari dunia luar.
Sejumlah organisasi, antara lain Amnesti Internasional, menyoal
pembunuhan yang sadistis itu. Namun surat Amnesti Internasional dianggap
sepi oleh pemerintah. Yoga Sugama menilai pembunuhan terhadap preman
“Merupakan kepentingan yang lebih besar daripada mempersoalkan penjahat
yang mati misterius, dan persoalan-persoalan asas yang dipermasalahkan,”
katanya seperti dikutip dari Harian Gala, 25 Juli 1983.
LB Moerdani, panglima yang disebut-sebut sebagai salah satu desainer
operasi Petrus itu mengatakan kalau peristiwa itu dipicu oleh perang
antargenk. Benny berdalih pembunuhan-pembunuhan itu tak melibatkan
tangan ABRI. Sementara itu Soeharto dalam otobiografinya, Pikiran,
Ucapan dan Tindakan Saya, punya dalih lain. Dia menuturkan kalau Petrus
ditujukan sebagai usaha mencegah kejahatan seefektif mungkin dengan
harapan menimbulkan efek jera.
“Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas.
Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan
itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi
yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka
mereka ditembak. Lalu mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock
therapy, terapi goncangan. Supaya, orang banyak mengerti bahwa terhadap
perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya,” kata
Soeharto kepada Ramadhan KH.
Setelah saling-silang pendapat di masyarakat dan tekanan dunia
internasional, akhirnya pemerintah Orde Baru menghentikan sama sekali
operasi tersebut pada 1985. Sejak dimulai pada pengujung 1982 sampai
dengan berakhir ada sekira seribu lebih korban tewas. Berdasarkan data
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), puncak
tertinggi korban petrus terjadi pada 1983 dengan jumlah 781 orang tewas.
"Melihat Tulisan dan berita diatas tentang kejadian di masa Orde baru
begitu memilukan bagi bangsa ini, bagaiaman pendapat rekan-rekan jika
dibandingkan dengan saat sekarang yg terjadi di Indonesia??? please put
ur opinion untuk sama2 kita saling membangun dan memberikan pengetahuan
bagi yang lain, Terimakasih..."
Title : kisah si petrus
Description : penembakan Misterius (PETRUS) "Kisah Gelap ORBA" SUATU malam di bulan Juli 1983, mobil Toyota Hardtop yang dikemudikan Ba...