|
Add caption |
Redupnya Cahaya Putera Sang Fajar
Jatuhnya Soekarno dari presiden merupakan peristiwa politik cukup
menarik dan sangat bersejarah. Dimulai dengan Supersemar yang memberi
“mandat” kepada Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan politik
yang saat itu sangat kacau, sampai ditolaknya Pidato Nawaksara yang
disampaikan oleh Presiden Soekarno.
Khusus mengenai Surat Perintah Sebelas Maret, menurut sebuah sumber, itu
merupakan mandat atau perintah untuk menyelamatkan revolusi. Dan bukan
pelimpahan kekuasaan, melainkan pelimpahan tugas. Menurut sumber itu
pula, sebagai orang yang diperintahkan pemegang supersemar berkewajiban
melaporkan kepada Soekarno apa yang dikerjakannya sesuai perintah itu.
Berikut ini adalah kronologis kejatuhan Soekarno yang dikutip dari
berbagai sumber, dan sebagian besar, dikutip dari buku “Proses
Pelaksanaan Keputusan MPRS No.5/MPRS/ 1996 Tentang Tanggapan Madjelis
Permusjawaratan Rakjat Sementara Republik Indonesia Terhadap Pidato
Presiden/Mandataris MPRS di Depan Sidang Umum Ke-IV MPRS Pada Tanggal 22
Djuni 1966 Yang Berdjudul Nawaksara,” dimulai dengan dikeluarkannya
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Tanggal 11 Maret 1966
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Revolusi/ Mandataris MPRS,
mengeluarkan Supersemar, yang isinya antara lain: “Memutuskan dan
memerintahkan: Kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri Panglima
Angkatan Darat untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi Pemimpin
Besar Revolusi.
Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan
dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya
revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS,
demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan
melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
Mengadakan koordinasi pelaksanaan pemerintah dengan panglima-panglima Angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung-jawabnya seperti tersebut diatas.”
16 Maret 1966
Pangkopkamtib —atas nama Presiden RI— mengeluarkan surat perintah
penangkapan terhadap sejumlah 15 menteri yang diduga terlibat G-30
S/PKI.
27 Maret 1966
Dilakukan perombakan terhadap Kabinet Dwikora. Sementara presiden tidak
setuju kabinet itu dirombak. Banyak wajah-wajah baru yang dianggap
kurang dekat dengan Presiden Soekarno. Tapi, tiga hari kemudian, kabinet
itu pun dilantik.
21 Juni 1966
Jenderal TNI AH Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS dalam sidang MPRS. Sidang tersebut berlangsung sampai dengan 6 Juli 1966.
22 Juni 1966
Presiden Soekarno membacakan Pidato Nawaksara di depan Sidang Umum ke-IV
MPRS, dan pimpinan MPRS melalui keputusannya No. 5/MPRS/1966 tertanggal
5 Juli 1966, meminta Presiden Soekarno untuk melengkapi pidato
tersebut.
6 Juli 1966
Sidang MPRS ditutup, dan mengeluarkan 24 Ketetapan, Sebuah keputusan,
dan satu Resolusi. Salah satu diantaranya, Tap MPRS No. IX/MPRS/1966,
yang menegaskan tentang kelanjutan dan perluasan penggunaan Supersemar.
17 Agustus 1966
Presiden Soekarno melakukan pidato dalam rangka peringatan hari
Proklamasi yang dikenal dengan Pidato Jas Merah (Jangan Sekali-kali
Melupakan Sejarah). Pidato Jas Merah tersebut mencerminkan sikap
Presiden sebagai Mandataris MPR, yang tidak bersedia untuk aturan yang
ditetapkan oleh MPRS. Sehingga, hal itu menimbulkan reaksi masyarakat,
dan diwarnai aksi demonstrasi dari masyarakat maupun mahasiswa.
1-3 Oktober 1966
Massa KAMI, KAPPI, dan KAPI, melakukan demonstrasi di depan istana
merdeka. Mereka menuntut agar presiden memberi pertanggung-jawaban
tentang peristiwa G-30-S/PKI. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya
bentrokan fisik dengan pasukan Garnizun, sehingga memakan korban.
22 Oktober 1966
Pimpinan MPRS mengeluarkan Nota, Nomor: Nota 2/Pimp/MPRS/1966, yang
meminta kepada Presiden Soekarno untuk melengkapi laporan
pertanggungjawaban sesuai keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.
30 Nopember 1966
KAPPI kembali melakukan demonstrasi ke DPR, dengan tuntutan yang sama seperti demonstrasi sebelumnya.
9-12 Desember 1966
Sekitar 200 ribu mahasiswa mendesak agar presiden Soekarno diadili.
20 Desember 1966
KAMI, KAPPI, KAWI, KASI, KAMI Jaya, KAGI JAYA, serta Laskar Ampera Arif
Rahman Hakim (ARH) menyampaikan fakta politik kepada MA mengenai
keterlibatan Presiden Soekarno dalam G-30-S/PKI
21 Desember 1966
ABRI mengeluarkan pernyataan keprihatinan, yang antara lain berbunyi
butir ke-2), “ABRI akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun,
pihak mana pun, golongan mana pun yang akan menyelewengkan Pancasila dan
UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan PKI Pemberontakan Madiun,
Gestapu PKI, DI-TII, Masjumi, PRRI-Permesta serta siapa pun yang tidak
mau melaksanakan Keputusan-keputusan Sidang Umum ke-IV MPRS.”
31 Desember 1966
Pimpinan MPRS mengadakan musyawarah yang membahas situasi pada saat itu,
khususnya menyangkut pelaksanaan Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966
tersebut diatas, dan suara serta pendapat dalam masyarakat yang timbaul
setelah adanya sidang-sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara
ex. Wapredam I dan ex. Men/Pangau.
6 Januari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan surat nomor A9/1/5/MPRS/1967, ditujukan
kepada Jenderal TNI Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS
IX/Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Surat itu
menegaskan seputar permintaan bahan-bahan yuridis/hasil penyidikan.
Isinya antara lain: “Pimpinan MPRS mengkonstatasikan bahwa setelah
berlangsungnya Sidang-sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara
ex-Waperdam I dan ex-Men/Pangau, telah timbul berbagai suara dan
pendapat dalam masyarakat yang berkisar pada dua hal pokok, yaitu: –
Tuntutan penyidikan hukum untuk menjelaskan/menjernihkan terhadap
peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa kontra revolusi
G-30-S/PKI. – Tuntutan dilaksanakannya Keputusan MPRS Nomor
5/MPRS/1966.”
10 Januari 1967
Presiden Soekarno menyampaikan Pidato Pelangkap Nawaksara, yang isinya
antara lain: “Untuk memenuhi permintaan Saudara-saudara kepada saya
mengenai penilaian terhadap peristiwa G-30.S, maka saya sendiri
menyatakan:
G.30.S ada satu “complete overrompeling” bagi saya.
Saya dalam pidato 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5 Oktober 1966
mengutup Gestok. 17 Agustus 1966 saya berkata “sudah terang Gestok kita
kutuk. Dan saya, saya mengutuknya pula; Dan sudah berulang-ulang kali
pula saya katakan dengan jelas dan tandas, bahwa “Yang bersalah harus
dihukum! Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB”
Saya telah autorisasi kepada pidato Pengemban S.P. 11 Maret yang
diucapkan pada malam peringatan Isro dan Mi’radj di Istana Negara j.l.,
yang antara lain berbunyi:
“Setelah saya mencoba memahami pidato Bapak Presiden pada tanggal 17
Agustus 1966, pidato pada tanggal 5 Oktober 1966 dan pada
kesempatan-kesempatan yang lain, maka saya sebagai salah seorang yang
turut aktif menumpas Gerakan 30 September yang didalangi PKI,
berkesimpulan, bahwa Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30
September/PKI, walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah
“Gestok””(Gestok: Gerakan Satu Oktober, istilah Soekarno, Red)
10 Januari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan Catatan Sementara tentang Pelengkap Pidato
Nawaksara yang diumumkan Tanggal 10 Januari 1967. Catatan Sementara
tersebut berisikan, antara lain: (a) bahwa Presiden masih meragukan
keharusannya untuk memberikan pertanggungan-jawab kepada MPRS
sebagaimana ditentukan oleh Keputusan MPRS No.5/MPRS/1966. (b)
Perlengkapan Nawaksara ini bisa mengesankan seolah-olah dibuat dengan
konsultasi Presidium Kabinet Ampera dan para Panglima Angkatan
Bersenjata”.
20 Januari 1967
MPRS mengeluarkan Press Release Nomor 5/HUMAS/1967 tentang Hasil
Musyawarah Pimpinan MPRS tanggal 20 Januari 1967, yang isinya (terdiri
empat point besar) antara lain (poin ke-4): “Perlu diterangkan bahwa
dalam menghadapi persoalan-persoalan penting yang sedang kita hadapi,
soal Nawaksara, soal penegakan hukum dan keadilan, soal penegakan
kehidupan konstitusional, Pimpinan MPRS sejak beberapa lama telah
mengadakan tindakan-tindakan dan usaha-usaha koordinatif dengan Pimpinan
DPR-GR, Presiden Kabinet Khususnya Pengemban Ketetapan MPRS No. IX, dan
lembaga-lembaga negara maupun lembaga-lembaga masyarakat lainnya…”
21 Januari 1967
Mengeluarkan Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS Lengkap, yang terdiri dari
tiga butir besar, antara lain (poin II), “Bahwa Presiden alpa memenuhi
ketentuan-ketentuan konstitusional sebagai ternyata dalam surat beliau
No. 01/Pres/67, khususnya yang termaktub dalam angka Romawi I: “Dalam
Undang-Undang Dasar 1945, ataupun dalam Ketetapan dan Keputusan MPRS
sebelum sidang Umum ke-IV, tidak ada ketentuan, bahwa Mandataris harus
memberikan pertanggungan jawab atas hal-hal yang “cabang”. Pidato saya
yang saya namakan Nawaksara adalah atas kesadaran dan tanggungjawab saya
sendiri, dan saya maksudkannya sebagai semacam “progress-report
sukarela” tentang pelaksanaan mandat MPRS yang telah saya terima
terdahulu”. Yang berarti mengingkari keharusan bertanggung-jawab pada
MPRS dan hanya menyatakan semata-mata pertanggungan jawab mengenai
Garis-garis Besar Haluan Negara saja…” dst.
1 Februari 1967
Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Jenderal Soeharto,
dengan nomor surat R.032/1967, sifatnya rahasia, dengan lampiran 2 (dua)
berkas, serta perihal: Bahan-bahan yuridis/hasil penyudikan. Petikan
laporan Team, pada bagian Pendahuluan itu, antara lain sebagai berikut:
“Tujuan penyusunan naskah laporan ini untuk menyajikan data dan fakta
yang telah dapat diperoleh selama dalam persidangan MAHMILLUB semenjak
perkara NJONO dan SASTROREDJO, yang dalam pengumpulannya ditujukan untuk
memperoleh bahan gambaran yang selengkap-lengkapnya terhadap
PERTANGGUNGAN-DJAWAB YURIDIS PRESIDEN DALAM PERISTIWA G-30-S/PKI.
Berdasarkan hasil-hasil persidangan tadi, maka PRESIDEN harus
mempertanggung-jawabkan segala pengetahuan, sikap dan tindakannya, baik
terhadap peristiwa G-30-S/PKI itu sendiri maupun langkah-langkah
penyelesaian yang merupakan kebijaksanaan PRESIDEN selaku KEPALA NEGARA
dan PANGLIMA TERTINGGI ABRI di dalam menjalankan pemerintahan negara
dimana kekuasaan dan tanggung-jawab ada di tangan PRESIDEN, sesuai
ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 beserta penjelasannya.”
9 Februari 1967
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mengeluarkan Resolusi
tentang Persidangan Instimewa MPRS, yang meminta kepada MPRS untuk
mengundang dan menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS selambat-lambatnya
bulan Maret 1967, serta meminta kepada Pemerintah c.q. Ketua Presidium
Kabinet Ampera selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban/Pengembangan Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 untuk memberikan
keterangan dan bahan-bahan dalam Sidang Istimewa tersebut untuk
menjelaskan peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa Kontra
Revolusi G-30-S/PKI untuk dapat dijadikan pegangan dan pedoman para
Wakil Rakyat dalam menggunakan wewenang dan kewajibannya dalam Sidang
Istimewa MPRS.
9 Februari 1967
DPR-GR mengeluarkan Penjelasan Atas Usul Resolusi DPR-GR tentang Sidang
Istimewa MPRS. Pada tanggal yang sama DPR-GR mengeluarkan Memorandum
mengenai Pertanggungan-jawab dan Kepemimpinan Presiden Soekarno dan
Persidangan Istimewa MPRS.
11 Februari 1967
Empat panglima angkatan di tubuh ABRI bertemu Presiden Soekarno di
Bogor, menyampaikan pendiriannya agar Presiden menghormati konstitusi
dan Ketetapan MPRS pada Sidang Umum ke-IV.
12 Februari 1967
Presiden bertemu kembali dengan keempat Panglima tersebut, dan saat itu
presiden meminta untuk melakukan pertemuan kembali esoknya.
13 Februari 1967
Para panglima mengadakan rapat membahas masalah pendekatan Presiden
Soekarno tersebut. Sesudah bertemu dengan presiden, kemudian mereka
sepakat untuk tidak lagi melakukan pertemuan selanjutnya.
16 Februari 1967
Pimpinan MPRS mengeluarkan Keputusan No. 13/B/1967 tentang Tanggapan
Terhadap Pelengkapan Pidato Nawaksara, yang isinya: MENOLAK PELENGKAPAN
PIDATO NAWAKSARA YANG DISAMPAIKAN DENGAN SURAT PRESIDEN NO. 01/PRES./’67
TANGGAL 10 JANUARI 1967, SEBAGAI PELAKSANAAN KEPUTUSAN MPRS
NO.5/MPRS/1966. Dan pada tanggal yang sama dikeluarkan pula Keputusan
MPRS No.14/B/1967 tentang Penyelenggaran dan Acara Persidangan Istimewa
MPRS.
19 Februari 1967
Para Panglima dan Jenderal Soeharto bertemu dengan Presiden Soekarno di
Istana Bogor. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesimpulan.
20 Februari 1967
Presiden Soekarno memberikan Pengumuman, yang isinya antara lain: KAMI,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN
BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA, Setelah menyadari bahwa konflik politik
yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan Rakyat,
Bangsa dan Negara, maka dengan ini mengumumkan: Pertama: Kami, Presiden
Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, terhitung mulai hari ini menyerahkan
kekuasaan pemerintah kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966,
dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa Undang-undang Dasar 1945. Kedua:
Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan
penyerahan tersebut kepada Presiden, setiap waktu dirasa perlu. Ketiga:
Menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia, para Pemimpin Masyarakat,
segenap Aparatur Pemerintahan dan seluruh Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia untuk terus meningkatkan persatuan, menjaga dan menegakkan
revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan
MPRS No. IX/MPRS/1966 seperti tersebut diatas. Keempat: Menyampaikan
dengan penuh rasa tanggung-jawab pengumuman ini kepada Rakyat dan MPRS.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Rakyat Indonesia dalam
melaksanakan cita-citanya mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur
berdasarkan Pancasila.” Pengumuman ini ditandatangani pada tanggal 20
Februari 1967 oleh Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima
Tertinggi ABRI, Soekarno.
23 Februari 1967
Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/1996, melakukan Pidato
melalui Radio Republik Indonesia. Sianya antara lain, memberi penegasan
soal penyerahan kekuasaan oleh Presiden Soekarno kepada dirinya. Pada
tanggal yang sama, 23 Februari 1967, (juga) DPR-GR mengeluarkan Resolusi
No.724 tentang pemilihan Pejabat Presiden Republik Indonesia, beserta
penjelasan terhadap resolusi tersebut.
24 Februari 1967
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia membuat pernyataan yang isinya
antara lain, mengenai penyerahan kekuasaan pemerintah, dan menegaskan
bahwa Angkatan Bersenjata akan mengamakan terselenggaranya Sidang
Istimewa MPRS. Serta juga ditegaskan bahwa ABRI akan mengambil tindakan
tegas terhadap siapa pun dan golongan manapun yang tidak mentaati
pelaksanaan kekuasaan pemerintahan, setelah berlakunya Pengumuman
Presiden tanggal 20 Februaru 1967.
25 Februari 1967
Pemerintah mengeluarkan Keterangan Pers, mengenai telah dilakukannya
penyerahan kekuasaan pemerintahan negara oleh Soekarno kepada Pengemban
Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, yakni Jenderal Soeharto.
7 Maret 1967
MPRS mengadakan sidang istimewa dengan menghasilkan 26 Ketetapan. Ketika
sidang MPRS itu dilakukan, Mandataris duduk di barisan pimpinan MPRS
yakni di sebelah kanan Ketua MPRS, tidak seperti biasanya duduk
berhadapan dengan MPRS. Hasilnya, antara lain (seperti dituangkan dalam
TAP MPR No. XXXIII/MPRS/1967), yakni Mencabut Kekuasaan Pemerintah dari
Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden
hingga dilaksanakannya Pemilu.